Minggu, 28 November 2010

Perbandingan Data Naskah dengan Data Arkeologi Lainnya

Kakawin Sutasoma
Ajaran Buddha untuk Mengasihi Sesama makhluk Hidup

Ikhtisar Kakawin
Kakawin Sutasoma dibuat oleh seorang pujangga bernama Mpu Tantular yang diperkirakan berperan sebagai sastrawan pada masa kerajaan Majapahit. Pembahasan mengenai kakawin Sutasoma ini menggunakan teks terjemahan kakawin Sutasoma yang disadur oleh Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo. Teks terjemahan kakawin Sutasoma tersebut terdiri atas 148 pupuh atau bab, dan 1209 bait.
Pada bait-bait pertama dalam kakawin, diceritakan tentang dewa Brahma, dewa Wisnu, dan Iswara (dewa Siwa) turun ke bumi sebagai raja-raja pada zaman yuga. Kemudian pada zaman kali, (sekarang), Sri Jinapati (pemimpin para Buddha Jina) turun untuk menghancurkan kejahatan di dunia yang dibawa oleh Kala. Dalam cerita kakawin, kala diwujudkan dalam tokoh bernama raja Sudanda atau raja Jayantaka. Buddha menjelma menjadi seorang manusia bernama pangeran Sutasoma. Pangeran Sutasoma merupakan seorang calon raja kerajaan Hastina yang didambakan oleh kedua orang tua dan rakyatnya untuk menjadi raja di kemudian hari dan mensucikan dunia dari kejahatan yang dibawa oleh kala. Pada kenyataan sebenarnya, Sutasoma merupakan Sang Buddha sendiri yang telah diterangi, walaupun dalam wujud manusia. Sutasoma juga merupakan bentuk yang dipilih Sang Buddha untuk menempatkan diri di bumi.
Pada awalnya pangeran Sutasoma ingin menyepi ke hutan untuk menjadi pertapa dan menolak menjadi raja. Setelah ia menempuh berbagai macam perjalanan, akhirnya ia memutuskan untuk kembali menjadi raja demi kebaikan dunia. Selanjutnya ia menikah dengan seorang putri bernama Candrawati, sepupu perempuannya yang sebenarnya merupakan Locana, sang permaisuri Sutasoma (Sutasoma sebagai Wairocana) di surga.
Dalam cerita kakawin selanjutnya, diceritakan bahwa Sutasoma memiliki banyak raja pengikut yang setia dan sakti. Mereka semua selalu melindungi raja Sutasoma dan kerajaan Hastina dengan sepenuh hati. Ketika raja Sudanda, sang kala beserta bala tentara raksasanya datang, pasukan Sutasoma rela bertempur hingga mereka semua tewas di medan pertempuran karena dikalahkan oleh kekuatan raja Sudanda yang telah berwujud Kala. Walau demikian, Sutasoma yang datang ke medan pertempuran untuk menyerahkan diri kepada sang raja Sudanda membangkitkan kembali pasukan raja-raja yang telah tewas tersebut karena kesucian hatinya. Dengan kesaktiannya, Sutasoma mampu menundukkan raja Sudanda dan membuat raja Sudanda menjadi seorang pandita mulia.
Karena raja Sudanda memiliki janji terhadap dewa raksasa Bhatarakala untuk menyerahkan Sutasoma sebagai mangsanya, raja Sudanda meminta Sutasoma untuk memutuskan jalan terbaik demi kebaikan dirinya. Sutasoma yang mulia akhirnya meminta raja Sudanda untuk membawanya ke dewa Bhatarakala untuk dijadikan persembahan. Dewa Bhatarakala sangat senang ketika Sutasoma telah ada di hadapannya dan segera menyantapnya, namun ia tidak bisa memakan Sutasoma dan terus-menerus memuntahkan Sutasoma.  Ternyata karena Sutasoma memiliki air Amerta (kesucian dan kemuliaan) di dalam hatinya, sang dewa raksasa tidak mampu memakan Sutasoma dan akhirnya ia pun takluk terhadap kekuatan Sutasoma. Sang dewa raksasa berjanji untuk tidak melakukan kejahatan lagi di dunia dewa dan di dunia manusia. Oleh karena itu, pada akhirnya dunia menjadi tempat yang aman dan tentram karena kejahatan tidak lagi bersarang di hati setiap manusia pada saat itu. Pada akhir cerita kakawin, Sutasoma dan istrinya menyepi ke gunung dan anak Sutasoma memegang pemerintahan kerajaan Hastina dengan aman dan tentram.   
Hampir di dalam setiap bagian cerita kakawin diperlihatkan hubungan antara Buddhisme dan Siwaisme. Hubungan tersebut  terkandung dalam setiap ajaran yang diberikan Sutasoma kepada murid-muridnya. Kedua-duanya merupakan jalan menuju kelepasan terakhir sambil meleburkan diri dalam Yang Mutlak yang wujudnya adalah “Kekosongan dan Kehampaan”. Upaya dan cara untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda, namun tujuannya tetaplah satu dan sama: Buddha dan Siwa adalah satu dan sama.
Kakawin ini merupakan hasil sastra religius berlatar aliran Buddha Mahayana. Banyak penekanan mengenai cita-cita Boddhisatwa, yaitu seorang yang bertekad ingin menjadi Buddha untuk mencapai kesejahteraan semua makhluk hidup. Selain itu, terdapat pula penekanan terhadap ciri Buddhistisnya, yaitu musuh tidak harus dihadapi dengan cara menghancurkannya, tetapi musuh harus diubah menjadi teman yang baik dan meninggalkan kejahatan. Hal ini digambarkan dalam penaklukan nagaraja, gajawaktra, dan macan betina oleh pangeran Sutasoma sehingga pada akhirnya kesemuanya dapat saling berbagi dalam pencapaian kebebasan sempurna (Bramantyo, 2009: 113-125).    

  1. A.     Kronologi  Tokoh-tokoh Raja yang Memerintah

Dalam kakawin Sutasoma yang digubah oleh Mpu Tantular ini, terdapat banyak raja yang diceritakan dan setiap raja memerintah di daerah kekuasaan yang berbeda-beda. Urutan penceritaan mengenai raja-raja dijelaskan dalam alur campuran, yaitu alur mundur dan maju. Penceritaan mengenai seorang raja kadang kala juga disertai penceritaan mengenai raja lainnya yang berada di daerah kekuasaan dan waktu yang berbeda.   Beberapa di antara raja-raja yang diceritakan di dalam kakawin, raja-raja yang paling sering disebutkan dan diceritakan adalah raja-raja berikut.
1)     Raja Sri Mahaketu
            Raja Sri Mahaketu merupakan seorang raja di Negeri Hastina yang berasal dari keturunan Wangsa Kuru. Ia  memerintah di antara pahlawan yang agung dan semua penguasa mengabdi serta menghormatinya. Permaisurinya bernama Dewi Prajnyadhari. Raja Sri Mahaketu merupakan ayah dari pangeran Sutasoma yang nantinya mengharapkan pangeran Sutasoma untuk menggantikan posisinya sebagai raja Negeri Hastina.
2)     Pangeran Sutasoma (Sri Jinapati)
Pangeran Sutasoma merupakan tokoh utama yang diceritakan pada kakawin Sutasoma. Ia merupakan wujud Sang Buddha yang telah diterangi dalam bentuk manusia. Sejak lahir, ia telah menunjukkan tanda-tanda ke Buddha-an dan kemuliaan. Meski pangeran Sutasoma ingin mengasingkan diri sebagai pertapa, dalam perjalanan selanjutnya ia kembali menjadi raja dan memerangi kejahatan yang muncul di dunia karena manusia.
3)     Raja Dasabahu
            Raja Dasabahu merupakan anak sekaligus penerus dari seorang raja bernama raja Candrasinga (kakak dari permaisuri raja Sri Mahaketu). Ia sangat sakti dan merupakan raja yang terkenal di seluruh dunia. Adik raja Dasabahu, Candrawati, nantinya akan dinikahkan dengan pangeran Sutasoma setelah sutasoma kembali dari pertapaannya. Setelah pangeran Sutasoma menjadi raja kerajaan Hastina, raja Dasabahu menjadi panglima bala tentara dan pengikut Sutasoma yang sangat setia.
4)     Raja Sudanda/ Raja Jayantaka/ Purusada
Raja sudanda adalah wujud kelahiran kembali raksasa Suciloma yang telah melakukan perjuangan untuk meninggalkan kejahatan. Ia memerintah di Negeri Ratnakanda sebagai pengganti ayahnya, raja Sudasa. Karena suatu kesalahan, tabiatnya yang baik berubah menjadi jahat dan pada perjalanan selanjutnya ia menjadi raja dari segala raksasa serta menganut Bhairawa.  Keberadaannya sangat ditakuti oleh dunia manusia dan dunia dewa, sehingga tidak ada satu pun yang berani melawannya. Dalam cerita kakawin, ia merupakan musuh besar semua raja yang paling sering diceritakan. Kemudian, pada akhir kakawin diceritakan bahwa raja Sudanda yang telah berwujud kala atau raksasa ditaklukan oleh raja Sutasoma dan menjadi pertapa mulia.
5)     Pangeran Arddhana
Raja Sutasoma dan permaisuri Candrawati memiliki anak yang bernama pangeran Arddhana. Ia sangat terampil dalam memanah dan memiliki kemuliaan seperti sri Jinamurti atau Sutasoma. Saat raja Sutasoma dan permaisuri melakukan tapa untuk kembali ke wujud dewatanya, pangeran Arddhana menggantikan posisi ayahnya sebagai raja.

  1. B.     Pendapat Beberapa Ahli Mengenai Kakawin Sutasoma

Meskipun penulis asli dari kakawin Sutasoma belum diketahui secara pasti, kakawin gubahan Mpu Tantular memiliki cara penceritaan yang indah. Ensink, J. dalam pengantar teks terjemahan kakawin Sutasoma (2009: xiv), melakukan kajian terhadap Sutasoma dari dua sumber. Sumber tersebut adalah kakawin Sutasoma gubahan Mpu  Tantular dan prosa (parwa) di Bali yang ditulis dengan bahasa jawa kuno, yaitu Cantakaparwa. Ia memandang terdapat perbedaan antara alur cerita kakawin Sutasoma dengan bentuk parwanya. Dalam Cankaparwa, aspek  genealogi Sutasoma diceritakan secara detail dan panjang lebar, sedangkan aspek genealogi Sutasoma tidak ditemukan dalam kakawin Sutasoma.
Soewito Santoso dalam pengantar teks terjemahan kakawin Sutasoma (2009: xvi), mengkaji kakawin Sutasoma dari aspek filologis. Ia menyunting teksnya dengan menggunakan Sembilan naskah sebagai naskah pembanding, yang tersimpan di Gedong Kirtya dan Leiden. Edisi teksnya dilengkapi dengan aparat kritik dari setiap naskah yang digunakan. Selain itu, Soewito menyebutkan bahwa kisah Sutasoma digubah berdasarkan kerangka lakon pertunjukkan wayang. Ia juga menyebutkan adanya keterkaitan Sutasoma dengan Candi Borobudur, serta pembelajaran Siwa-Buddha dalam karya sastra Jawa Kuno lainnya.
Dalam uraiannya mengenai lakon wayang Sutasoma,  Soewito mengatakan bahwa komposisi cerita bagian pertamanya mengacu kepada kisah Arjunawiwaha dan bagian lakon keduanya mirip dengan lakon perang Baratayudha. Sutasoma dianalogikan sebagai Arjuna dalam cerita Arjunawiwaha, sedangkan peperangan antara raja Dasabahu dengan raja Magadha bersaudara (dua raja dalam bala tentara raksasa) mirip dengan perang antara Bima dan raja Bomawikata bersaudara di cerita Bharatayudha.
                        Menurut Zoetmulder, dalam pengantar terjemahan teks kakawin Sutasoma (2009: xix), kakawin Sutasoma penting karena memberikan pengetahuan mengenai ide-ide religius yang berlaku di masa Majapahit, khususnya mengenai bentuk Buddhisme Mahayana dan hubungannya dengan Siwaisme. Ia berpendapat bahwa dari kakawin tersebut, kita dapat menemukan ilustrasi tentang cara kedua aliran tersebut dapat hidup berdampingan dan  saling mempengaruhi.


  1. C.      Naskah Sutasoma yang Mendukung Interpretasi Isi Prasasti dan Beberapa Data Arkeologi (Candi di Jawa Timur)

Naskah-naskah sebagai data dapat membantu penelitian terhadap data prasasti. Walau mungkin terdapat kesalahan dalam penyalinan (sehingga naskah tidak dapat dijamin kevaliditasannya), banyak bagian dari naskah yang dapat membantu memperjelas isi prasasti. Hal ini dapat diamati dari Kakawin Sutasoma yang berfungsi sebagai salah satu naskah yang membantu memperjelas interpretasi sinkretisme agama dalam kasus hubungan agama Hindu-Siwa dan agama Buddha dari data prasasti masa Majapahit.   
Menurut Hariani Santiko (1993: 92-93) dalam artikelnya yang berjudul “Penelitian Awal Agama Hindu-Siwa Pada Masa Majapahit”, prasasti Brumbung yang dikeluarkan pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit memunculkan dugaan Sinkretisme antara agama Hindu dan Buddha. Dugaan tersebut muncul karena isi prasasti menunjukkan bahwa raja-raja pada awal kerajaan Majapahit memeluk agama Hindu-Saiwa, sedangkan ratu Tribhuwanatunggadewi, ibu raja Hayam Wuruk, memeluk agama Buddha.[1] Dalam hal ini, dapat dilihat adanya kehidupan dua agama yang berbeda pada masa Majapahit.
Hariani Santiko (1993: 92-93) juga menyebutkan data arkeologi lainnya berupa candi Hindu dan candi Buddha yang diperkirakan berasal dari masa Majapahit, yaitu
-          raja Krtarajasa didharmakan di : Simping (Siwa) dan Antahpura (Buddha);
-          raja Jayanagara didharmakan di : dalam pura sebagai Wisnu, Sila Ptak di Bubat (Wisnu), dan Sukhalila (Buddha);
Gejala ini menunjang interpretasi adanya sinkretisme atau pencampuran agama Siwa dan Buddha. Dalam artikel Hariani Santiko, pendapat ini pada awalnya diajukan oleh Kern. Ia menggunakan istilah vermenging (pencampuran). Selanjutnya, pendapat ini diteruskan oleh W.H. Rassers, Krom, dan P.J. Zoetmulder, dan mereka memunculkan istilah sinkretisme untuk pencampuran kedua agama ini (Santiko, 1993: 93).
            Hariani Santiko menyatakan bahwa pendapat mengenai sinkretisme ini telah ditentang karena ternyata pencampuran tersebut hanya terbatas pada usaha mempersamakan Kenyataan Tertinggi (Absolute Reality/ Highest Reality) kedua agama tersebut dan tidak keseluruhan sistemnya (1993: 93). Ia menyetujui istilah parallelism yang diajukan oleh Th. Piqeaud untuk hubungan antara agama Hindu-Siwa dan agama Buddha ini. Piqeaud melihat adanya kedudukan sejajar antara kedua agama tersebut.       
Seperti yang telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini,  hampir di dalam setiap bagian cerita naskah Sutasoma ditunjukkan hubungan antara Buddhisme dan Siwaisme. Hubungan tersebut  diwujudkan dalam setiap ajaran yang diberikan Sutasoma kepada murid-muridnya. Ia menunjukkan bahwa tujuan akhir dari Siwa-Buddha adalah sama, yaitu “kehampaan” dan adanya kesamaan konsep Kenyataan Tertinggi.[2] Dalam hal ini jelas bahwa Mpu Tantular, penggubah kakawin Sutasoma ingin menunjukkan bahwa kedua agama tersebut telah berjalan secara berdampingan pada masa Majapahit. Oleh karena itu, makna yang tertulis secara tersurat dan tersirat dalam kakawin Sutasoma membantu menegaskan adanya hubungan kesejajaran antara agama Hindu-Saiwa dan agama Buddha pada prasasti dan penemuan arca di candi-candi pendarmaan Krtarajasa.

  1. D.     Cerita Kakawin Sutasoma yang dipahatkan pada Relief Candi Borobudur

Kakawin Sutasoma mengisahkan perjalanan pangeran Sutasoma sebagai Sang Buddha dalam wujud manusia sempurna. Inti yang ingin disampaikan oleh penggubah kakawin Sutasoma ialah ajaran Sang Buddha untuk saling mengasihi sesama dan berupaya menuju Nirwana bersama-sama. Beberapa bagian yang menceritakan bagaimana pangeran Sutasoma (Sang Buddha) menempuh perjalanan dalam menyebarkan ajaran cinta kasihnya terhadap sesama digambarkan pula pada relief yang diukir di dinding Borobudur.
Menurut Daud Aris Tanudirjo (2007: 3) di dalam artikelnya yang berjudul “Borobudur yang Inspirasional”, pada bagian Rupadhatu di Candi Borobudur, dipahatkan relief-relief yang berturut-turut dari bawah ke atas: cerita Jataka dan Awadana, Lalitawistara, dan Gandawyuha. Urutan tersebut memperlihatkan gambaran proses seseorang (Buddha) melepaskan diri dari lingkaran inkarnasi, termasuk menjadi hewan-hewan, kemudian lahir menjadi manusia (dalam hal ini menjadi tokoh Sang Buddha Gautama). Dalam relief tersebut, manusia itu (Buddha) berupaya mencari pemahaman mengenai “kebenaran”. Gambaran relief ini dapat kita analogikan dengan cerita yang dituliskan pada kakawin Sutasoma saat pangeran Sutasoma ingin keluar dari lingkungan kerajaan untuk mencari kebenaran hidup.
Walaupun cerita pada kakawin Sutasoma tidak digambarkan persis sama pada relief, inti cerita yang ingin disampaikan pada kakawin dan relief adalah sama, yaitu berbuat mulia kepada sesama makhluk hidup untuk kembali ke Kenyataan Tertinggi. Dengan demikian, selain dari data prasasti, arca-arca, dan kakawin, dapat disimpulkan dari data berupa relief bahwa pemikiran mengenai konsep Keyataan Tertinggi telah berkembang luas pada masa itu.    
    
Daftar Referensi:
Santiko, Hariani. 2005. Hari-Hara: Kumpulan Tulisan Mengenai Agama Veda dan Hindu di Indonesia pada Abad IV-XVI Masehi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Tantular, Mpu. 2009. Kakawin Sutasoma diterjemahkan oleh Dwi Woro R. M. dan Hastho Bramantyo. Jakarta: Komunitas Bambu.       
Tanudirjo, Daud Aris. 2007. Borobudur yang Inspirasional. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada.



[1] Dalam artikel Hariani Santiko (1993: 93), dijelaskan bahwa prasasti Brumbung baris 4 di belakang nama Tribhuwana ditulis kalimat: “boddhapaksa buddhamargarahasyopadesana…………”. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa Tribhuwana menganut agama Buddha.
[2] Ibid. Adanya konsep parallelism dan kesamaan konsep Kenyataan Tertinggi antara agama Hindu-Siwa dan Buddha tidak hanya diperlihatkan dalam kakawin Sutasoma. Dalam tulisannya, Hariani Santiko menyatakan bahwa beberapa karya sastra lain, seperti kakawin Nagarakrtagama, kakawin Arjunawijaya, dan kakawin Kunjarakarna, juga menunjukkan adanya dua konsep tersebut. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa beberapa karya sastra sangat membantu penginterpretasian data prasasti dan data-data arkeologi lainnya dalam memperjelas hubungan agama Hindu-Siwa dan agama Buddha.